Ritme koplo dan cahaya digital disatukan dalam panggung eksperimental yang meramu gagasan lintas medium.
Kolaborasi ini memakai Mahjong Ways 2 sebagai metafora tempo, sementara visual augmented reality memahat atmosfer nebula yang lincah.
Judulnya kedengaran melodik, namun fokus kerja tim justru pada pengukuran ritme, koreografi interaksi, dan cara menceritakan ruang wisata dengan pendekatan baru.
“Kalau ritme dijadikan kompas, pemain dan penonton bertemu di titik yang sama; bukan sekadar ikut goyang, tapi paham ke mana lagu menuntun,” ujar Rhoma dalam sesi kreatif bertajuk Nebula.
Beat kendang dipakai sebagai penanda waktu yang stabil lalu dipetakan ke parameter kecepatan visual.
Setiap aksen drum dipasangkan dengan pergantian partikel, membuat kilau nebula terasa sinkron dengan hentakan lirik.
Pendekatan ini menjaga energi tetap konsisten tanpa perlu gimmick basa‑basi.
Game ini diperlakukan sebagai alat uji tempo, bukan ajakan bermain, sehingga elemen ritmenya bisa dipinjam secara terukur.
Tim hanya menyalin sensasi percepatan dan perlambatan untuk kebutuhan koreografi audiovisual.
Tujuannya adalah menghadirkan model pergerakan yang mudah ditransfer ke instalasi wisata.
Sensor tempo diambil dari ketukan kendang digital lalu dinormalisasi pada tiga rentang kecepatan.
Kurva pengamatan dipakai untuk memetakan intensitas partikel sehingga transisi antarruang tetap logis.
Platform kerja tim mengatur distribusi aset, penjadwalan, dan pelaporan progres dalam satu jalur yang rapi.
Kurator lokal membantu memilih sudut cerita, mulai dari legenda setempat hingga motif ukiran yang bisa dipindai.
Dengan alur itu, materi AR selesai tepat waktu dan siap dipasang pada titik kunjungan.
Seorang buruh AR di Bali menyebut nominal Rp114.300.000 sebagai hasil kumulatif kontrak produksi dan pemasangan.
“Saya biasanya pegang rig sederhana, sekarang ikut layouting marker dan kalibrasi kamera; kerjaan bertambah, nilainya juga,” tuturnya dengan senyum yang hemat.
Angka itu lahir dari proyek paket wisata yang memerlukan beberapa adegan interaktif di area cagar budaya.
Tim mengadakan pengujian tempo di ruang kecil dengan layar setengah kubah, menyalakan kilau partikel yang mengikuti beat.
Tujuannya bukan mengejar euforia, melainkan konsistensi tempo agar narasi visual tidak tersentak‑sentak.
Bagian ini melahirkan rujukan pola tempo yang dipakai pada instalasi akhir.
Layar setengah kubah dipilih agar arah pandang mudah diikuti tanpa membuat penonton limbung.
Instalasi AR mendorong penonton memindai ornamen, lalu mendapat cuplikan cerita yang menaut pada gerak tarian.
Penjual cendera mata kebagian sorotan karena motif yang diangkat tampil di overlay visual berdekatan dengan kios mereka.
Musisi panggung kecil ikut diundang, memastikan narasi audio tidak terlepas dari akar komunitas.
Pemandu tur memakai tablet untuk memicu adegan sehingga cerita berjalan pendek namun padat.
Game hanya dijadikan referensi tempo dan estetika gerak, tidak diposisikan sebagai alat peruntungan.
Setiap percobaan dipresentasikan terbuka, mulai parameter yang dipakai hingga cara pengukuran respons penonton.
Dokumentasi internal disiapkan agar tim berikutnya bisa mengulang proses tanpa kebingungan.
Sesi berbagi dibuka untuk siswa seni rupa, memperlihatkan cara membaca ritme lalu mengalihkannya ke komposisi gambar.
Pengajar menekankan latihan koordinasi tangan‑mata karena sinkron visual lahir dari kebiasaan mengukur.
Peserta diminta membuat sketsa ruang wisata yang bernafas mengikuti ketukan.
Kolaborasi ini memberi cara baru membingkai wisata: musik sebagai metronom, visual sebagai pemandu arah.
Pendekatan ritme terukur membuat instalasi terasa rapi, dan pekerja lokal mendapat imbal yang wajar.
Rhoma menyebut metode ini melatih disiplin nada dan kerja tim; dua unsur yang kerap luput saat produksi buru‑buru.